"nanti jangan jadi guru yaaa, jangan. Kamu ngga layak ditiru"
Monolog beberapa tahun silam, saat akumulasi sesal dan kecewa bertumpuk. Tepat, yang berputar-putar di pikiran adalah sosok yang mulia itu.
Persis dihubungkan dengan perlakuan diri sendiri, karena pada saat itu, status masih seorang pelajar, tapi agaknya jauh dari kata terpelajar.
Maha Baik Allah, menjadikan rasa takut, khawatir, dan kerdil akan sebutan yang mulia 'guru' itu sebagai media untuk tumbuh dan berkaca. Rasa-rasanya, jadi guru itu tiada hari tanpa belajar dan mawas diri, merasa ngga mampu, merasa ngga becus, merasa ngga mumpuni, tapi dari semua perasaan itu tumbuh kesadaran untuk belajar.
Ya mau ngga mau. Titik.
Kalau kamu ngga penuhi hak diri kamu dengan belajar, gimana mau membersamai dan menunaikan hak pelajar-pelajar itu?
Tepat hari ini, 25 November selalu sukses membuat diri linglung, haru, dan gemetar. Berjalan dengan sebutan guru itu ya berkelok-kelok. Kadang tersandung kerikil di jalan, kadang ngos-ngosan dan sangat kelelahan, kadang hilang kontrol antara rasa dan realita.
Tapi percayalah, tidak ada balasan apapun yang setimpal dari seseorang yang bekerja di ruang emosional ini, selain pencapaian dan harapan yang mengoyakkan perasaan.
Terima kasih bapak/ibu guru, doa kami belum sekhusyuk itu, tingkah laku kami kadang semengkhawatirkan itu, tutur kata kami, dan segala kekurangan yang ada pada diri kami, semoga tertutupi dengan kebaikan engkau yang tak akan pernah mampu kami hitung dan kami balas.
Terima kasih anak-anakku, yang sudah memanggilku dengan sebutan guru. Tentunya doa, cinta, dan harapan tersemat banyak untuk kalian.
Selamat Hari Guru.
Komentar
Posting Komentar