Langsung ke konten utama

Itu Aset Berharga! Kenapa Dibuka 5 Jam Per-hari?

Terhitung dua bulan lebih Ramadan berlalu, banyak hal yang jika diingat, ingin untuk diulang, namun ketika momen itu datang tetap saja disia-siakan. Tulisan ini bukan untuk mengajak pembaca budiman sesak dada karena penyesalan, tapi memang ada beberapa hal yang sangat disayangkan.
            30 hari penuh di bulan Ramadan memang suatu hal yang sangat menggembirakan. Bagaimana tidak? Masjid-masjid yang awalnya sepi hanya berpenghuni kakek nenek renta sudah mulai berubah warna, jamaahnya semakin beragam mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia semua berkumpul untuk mengindahkan seruan-Nya dengan bonus kelipat gandaan pahala berdasarkan amalannya.
            Tempat peribadatan yang familiar kita sebut masjid pun berlomba-lomba membuat nyaman jamaahnya, mulai dari kebersihan fasilitas mukenah, sarung, hingga karpet yang ekstra diperhatikan, santapan lezat yang mulai tertata rapi sembari menunggu waktu berbuka pun dipersembahkan secara cuma-cuma, hingga perlakuan takmir masjid yang sungguh berbeda daripada biasanya, semua akan kita temukan di satu bulan penuh dari dua belas bulan yang tersedia dalam kurun waktu satu tahun. Mengapa hanya satu bulan?
            Keresahan saya dan curhatan beberapa kawan agaknya perlu saya tulis, barangkali ada juga yang mengalami hal demikian. Saepekan lalu, dengan wajah muram kawan saya mulai bercerita tentang pemberhentian kegiatan bimbingan belajar di sebuah masjid yang ada di salah satu kota pendidikan, dengan kesal ia melanjutkan ceritanya bahwa pengurus masjid mengambil tindakan memberhentikan kegiatan yang ada didalamnya dengan alasan bisingnya suara anak-anak yang tidak dapat dikendalikan dan mengganggu warga sekitar, penyebab lain masih dicari tahu tapi yang pasti alasan utama ingin diberhentikannya kegiatan bimbingan belajar dan ibadah di masjid tersebut adalah alasan yang sudah disebutkan di awal.
            Kita semua ini terkadang aneh ya, menyuruh anak-anak atau adik-adik kita untuk ke masjid karena tidak mau mereka salah pergaulan dan menghabiskan waktunya untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak seharusnya disinggahi, tapi ketika mereka semua sudah memilih untuk menghabiskan waktunya di masjid bersama teman-temannya justru kita sendiri yang membuat mereka tidak nyaman. Kita membuat mereka dihantui rasa trauma dan akhirnya tidak mau lagi main dan melakukan hal lain di masjid.
            Cerita lain muncul ketika beberapa kali hati saya bergejolak, keseharian di kost berteman dengan air PDAM yang setia dengan pemberian harapan palsunya; dini hari menyala kemudian pagi sampai malam mati, sehari menyala kemudian tiga hari berikutnya kekeringan, begitu saja sampai seterusnya. Pilihan yang efektif dan efisien adalah memanfaatkan masjid sekitar kost untuk bersih diri, menunaikan kewajiban salat, dll. Karena sialnya masjid di kampus yang sebenarnya menjadi tujuan utama pelarian sudah memampang jelas tempelan kertas persegi panjang dengan tulisan “dilarang mandi disini”.
            Ketidaknyamanan timbul ketika beberapa kali saya dan kawan-kawan kost berpapasan dengan bapak takmir masjid saat kami akan melakukan rutinitas di masjid tersebut, dengan tergesa-gesa kami langsung naik lantai dua masjid yang dikhususkan untuk jamaah putri, dan sesampainya di atas wajah kecewa kami mulai terlihat, “yaah.. kita terlambat salat disini” ucap salah satu kawan. Pintu yang terbuat dari kaca dan terlihat transparan itu sudah terkunci rapat, lengkap dengan wajah bapak takmir di lantai satu yang seolah-olah mengisyaratkan “ayo turun, gerbang sudah mau saya kunci”, pupus sudah harapan. Tujuan terakhir adalah mengelilingi kost teman yang masih terbuka pintunya untuk numpang mandi, salat, bahkan numpang makan. lengkap ya empat tahun kuliah dapat bonus (hampir) tau semua alamat kost teman-teman, Alhamdulillah.
            Sebagian kejadian yang disebutkan adalah bentuk ungkapan ketidaksesuaian pelayanan yang disediakan oleh masjid-masjid di luar bulan Ramadan, padahal sangat sering penceramah menyampaikan bahwa bulan Ramadan adalah bulan latihan, jika demikian maka sebuah latihan adalah bertujuan untuk mempersiapkan sesuatu bukan? Menurut saya, justru praktik nyata yang harus diistiqomahkan adalah pada sebelas bulan di luar Ramadan, kemudian jika semua fasilitas yang sudah diberikan untuk para jamaah selama satu bulan penuh itu tiba-tiba dicabut selama sebelas bulan setelahnya, praktiknya bagaimana?
            Asumsi pengurus masjid jika orang-orang berduyun-duyun ke masjid di luar bulan Ramadan adalah untuk numpang tidur, numpang kamar mandi, sekadar melepas penat dari perjalanan jauh, kongkow-kongkow yang nampaknya tidak bernilai ibadah, dll.
Namun apakah kita lupa bagaimana fungsi dan peranan masjid pada zaman Rasulullah? Masjid bukan hanya digunakan untuk tempat salat dan membaca al-quran, tapi juga untuk latihan memanah, tempat diskusi, dan mengatur strategi. Dengan begitu masyarakat akan merasa nyaman untuk berlama-lama melakukan banyak kegiatan positif di masjid.
            Jika mengambil konklusi dari diskusi singkat dengan Pak Didin pada suatu momen saat ia menyampaikan ulasan dengan tema “Anak Muda dan Dakwah Milenial” ia memberikan pertanyaan awal sebagai pemantik yang sekaligus menjadi inti dari pembahasan, begini kira-kira “kalau kita punya toko laris manis dengan penghasilan yang bisa diprediksikan, masak kita rela hanya membuka tokonya selama 5 jam per-hari?”, konotasinya “masjid itu aset berharga kita bersama, ide berlian, gerakan pembaharuan, dan totalitas peribadatan semua akan lahir dari sana, masa iya terdapat pembatasan penggunaan dan hanya dibuka saat pelaksaan salat 5 waktu saja? Ya eman, rugi.”


Tulisan ini pernah dimuat oleh Pucukmera.id pada tanggal 9 Agustus 2019.

Komentar

  1. Sedih juga ya kalau seperti itu. Kalau pun memang ada sekelompok anak kecil yang bertingkah di luar batas, sebaiknya memang dinasehati baik-baik.

    BalasHapus
  2. ironisnya beberapa hal yang disebutkan di tulisan ini. terjadi hampir terjadi di kampung-kampung kecil di daerah, sebut saja sukabumi.

    sepertinya kalau tidak bisa didiskusikan dengan takmir yang bersangkutan, jalan lain adalah mendo'akan

    BalasHapus
  3. Mendo'akan itu selemah-lemahnya iman, katanya. Hihihi
    Ada solusi lain, jadi takmir aja mas wkwk

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak Broken Home Berbagi Cerita Tentang Pernikahan

"Pernikahan adalah hadiah terbaik dari Allah SWT untuk kita, dan kualitas dari pernikahan itu adalah persembahan kita untuk Allah SWT." Sepotong kalimat itu ku dapatkan setelah babat habis baca instagram story Febrianti Almeera, atau akrab dipanggil Teh Pepew. Entah kapan mulanya, akun Teh Pepew seringkali jadi media kontemplasi paling mendalam. Kata-katanya lugas dan jelas, lembut tapi menampar halus. Beliau ditakdirkan sepasang dengan Ulum A. Saif, kerap dipanggil Kang Ulum. Jika dilihat sekilas, cocok sekali beliau berdua. Saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar. Definisi jodoh. Pembahasan instagram story Teh Pepew kali ini adalah tentang sahabat dekatnya yang baru saja melepas masa lajang di usia kepala 4. Apakah terlambat? Tentu tidak. Dipertemukan dalam kondisi terbaik yang dimiliki, dan di waktu yang terbaik menurutNya. Pembahasan menikah akhir-akhir ini akrab sekali di telinga. Ini bukan lagi tentang terburu-buru, bukan juga sesuatu yang tabu. Perjalanan mas

2023

Setiap tahunnya, selalu ada yang meleset dari resolusi. Tapi ada juga yang melesat di luar ekspektasi. Bagiku, mempertahankan kewarasan diri di antara lonjakan resolusi dan ekspektasi itulah, yang utama. Karena hubungannya dengan emosi: mengelola, memperlajari, dan akhirnya memperbaiki. 2022 terlewati dengan indah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena sejatinya, duka dan bahagia yang menemani di sepanjang tahun tertentu itu tidak ada yang tak mengisyaratkan pelajaran. 2022 membawaku ke banyak sekali tempat baru: bertemu, berkenalan, dan mengelola rindu atas pertemuan.  2022 mengajarkanku untuk tidak jumawa mengasumsikan skenarioNya, merencanakan bak sutradara, tapi lupa siapa yang memiliki kita dan mengatur perjalanan hidup kita. 2022 adalah kebahagiaan yang tak terkira, tak terukur, dan kesyukuran yang paling jujur.

2012

"nanti jangan jadi guru yaaa, jangan. Kamu ngga layak ditiru" Monolog beberapa tahun silam, saat akumulasi sesal dan kecewa bertumpuk. Tepat, yang berputar-putar di pikiran adalah sosok yang mulia itu. Persis dihubungkan dengan perlakuan diri sendiri, karena pada saat itu, status masih seorang pelajar, tapi agaknya jauh dari kata terpelajar. Maha Baik Allah, menjadikan rasa takut, khawatir, dan kerdil akan sebutan yang mulia 'guru' itu sebagai media untuk tumbuh dan berkaca. Rasa-rasanya, jadi guru itu tiada hari tanpa belajar dan mawas diri, merasa ngga mampu, merasa ngga becus, merasa ngga mumpuni, tapi dari semua perasaan itu tumbuh kesadaran untuk belajar. Ya mau ngga mau. Titik. Kalau kamu ngga penuhi hak diri kamu dengan belajar, gimana mau membersamai dan menunaikan hak pelajar-pelajar itu? Tepat hari ini, 25 November selalu sukses membuat diri linglung, haru, dan gemetar. Berjalan dengan sebutan guru itu ya berkelok-kelok. Kadang tersandung kerikil di jalan, k