Terhitung dua bulan lebih Ramadan
berlalu, banyak hal yang jika diingat, ingin untuk diulang, namun ketika momen
itu datang tetap saja disia-siakan. Tulisan ini bukan untuk mengajak pembaca
budiman sesak dada karena penyesalan, tapi memang ada beberapa hal yang sangat
disayangkan.
30
hari penuh di bulan Ramadan memang suatu hal yang sangat menggembirakan.
Bagaimana tidak? Masjid-masjid yang awalnya sepi hanya berpenghuni kakek nenek
renta sudah mulai berubah warna, jamaahnya semakin beragam mulai dari
anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia semua berkumpul untuk mengindahkan
seruan-Nya dengan bonus kelipat gandaan pahala berdasarkan amalannya.
Tempat
peribadatan yang familiar kita sebut masjid pun berlomba-lomba membuat nyaman
jamaahnya, mulai dari kebersihan fasilitas mukenah, sarung, hingga karpet yang
ekstra diperhatikan, santapan lezat yang mulai tertata rapi sembari menunggu
waktu berbuka pun dipersembahkan secara cuma-cuma, hingga perlakuan takmir
masjid yang sungguh berbeda daripada biasanya, semua akan kita temukan di satu
bulan penuh dari dua belas bulan yang tersedia dalam kurun waktu satu tahun.
Mengapa hanya satu bulan?
Keresahan
saya dan curhatan beberapa kawan agaknya perlu saya tulis, barangkali ada juga
yang mengalami hal demikian. Saepekan lalu, dengan wajah muram kawan saya mulai
bercerita tentang pemberhentian kegiatan bimbingan belajar di sebuah masjid
yang ada di salah satu kota pendidikan, dengan kesal ia melanjutkan ceritanya
bahwa pengurus masjid mengambil tindakan memberhentikan kegiatan yang ada
didalamnya dengan alasan bisingnya suara anak-anak yang tidak dapat
dikendalikan dan mengganggu warga sekitar, penyebab lain masih dicari tahu tapi
yang pasti alasan utama ingin diberhentikannya kegiatan bimbingan belajar dan
ibadah di masjid tersebut adalah alasan yang sudah disebutkan di awal.
Kita
semua ini terkadang aneh ya, menyuruh anak-anak atau adik-adik kita untuk ke
masjid karena tidak mau mereka salah pergaulan dan menghabiskan waktunya untuk
pergi ke tempat-tempat yang tidak seharusnya disinggahi, tapi ketika mereka
semua sudah memilih untuk menghabiskan waktunya di masjid bersama
teman-temannya justru kita sendiri yang membuat mereka tidak nyaman. Kita
membuat mereka dihantui rasa trauma dan akhirnya tidak mau lagi main dan
melakukan hal lain di masjid.
Cerita
lain muncul ketika beberapa kali hati saya bergejolak, keseharian di kost
berteman dengan air PDAM yang setia dengan pemberian harapan palsunya; dini
hari menyala kemudian pagi sampai malam mati, sehari menyala kemudian tiga hari
berikutnya kekeringan, begitu saja sampai seterusnya. Pilihan yang efektif dan
efisien adalah memanfaatkan masjid sekitar kost untuk bersih diri, menunaikan
kewajiban salat, dll. Karena sialnya masjid di kampus yang sebenarnya menjadi
tujuan utama pelarian sudah memampang jelas tempelan kertas persegi panjang
dengan tulisan “dilarang mandi disini”.
Ketidaknyamanan
timbul ketika beberapa kali saya dan kawan-kawan kost berpapasan dengan bapak
takmir masjid saat kami akan melakukan rutinitas di masjid tersebut, dengan
tergesa-gesa kami langsung naik lantai dua masjid yang dikhususkan untuk jamaah
putri, dan sesampainya di atas wajah kecewa kami mulai terlihat, “yaah.. kita
terlambat salat disini” ucap salah satu kawan. Pintu yang terbuat dari kaca dan
terlihat transparan itu sudah terkunci rapat, lengkap dengan wajah bapak takmir
di lantai satu yang seolah-olah mengisyaratkan “ayo turun, gerbang sudah mau
saya kunci”, pupus sudah harapan. Tujuan terakhir adalah mengelilingi kost
teman yang masih terbuka pintunya untuk numpang mandi, salat, bahkan
numpang makan. lengkap ya empat tahun kuliah dapat bonus (hampir) tau semua
alamat kost teman-teman, Alhamdulillah.
Sebagian
kejadian yang disebutkan adalah bentuk ungkapan ketidaksesuaian pelayanan yang
disediakan oleh masjid-masjid di luar bulan Ramadan, padahal sangat sering
penceramah menyampaikan bahwa bulan Ramadan adalah bulan latihan, jika demikian
maka sebuah latihan adalah bertujuan untuk mempersiapkan sesuatu bukan? Menurut
saya, justru praktik nyata yang harus diistiqomahkan adalah pada sebelas bulan
di luar Ramadan, kemudian jika semua fasilitas yang sudah diberikan untuk para
jamaah selama satu bulan penuh itu tiba-tiba dicabut selama sebelas bulan
setelahnya, praktiknya bagaimana?
Asumsi
pengurus masjid jika orang-orang berduyun-duyun ke masjid di luar bulan Ramadan
adalah untuk numpang tidur, numpang kamar mandi, sekadar melepas penat dari
perjalanan jauh, kongkow-kongkow yang nampaknya tidak bernilai ibadah, dll.
Namun apakah
kita lupa bagaimana fungsi dan peranan masjid pada zaman Rasulullah? Masjid
bukan hanya digunakan untuk tempat salat dan membaca al-quran, tapi juga untuk
latihan memanah, tempat diskusi, dan mengatur strategi. Dengan begitu
masyarakat akan merasa nyaman untuk berlama-lama melakukan banyak kegiatan
positif di masjid.
Jika
mengambil konklusi dari diskusi singkat dengan Pak Didin pada suatu momen saat ia
menyampaikan ulasan dengan tema “Anak Muda dan Dakwah Milenial” ia memberikan
pertanyaan awal sebagai pemantik yang sekaligus menjadi inti dari pembahasan,
begini kira-kira “kalau kita punya toko laris manis dengan penghasilan yang
bisa diprediksikan, masak kita rela hanya membuka tokonya selama 5 jam
per-hari?”, konotasinya “masjid itu aset berharga kita bersama, ide berlian,
gerakan pembaharuan, dan totalitas peribadatan semua akan lahir dari sana, masa
iya terdapat pembatasan penggunaan dan hanya dibuka saat pelaksaan salat 5
waktu saja? Ya eman, rugi.”
Tulisan ini pernah dimuat oleh Pucukmera.id pada tanggal 9 Agustus 2019.
Sedih juga ya kalau seperti itu. Kalau pun memang ada sekelompok anak kecil yang bertingkah di luar batas, sebaiknya memang dinasehati baik-baik.
BalasHapusIyaaa mbaak :'((
Hapusironisnya beberapa hal yang disebutkan di tulisan ini. terjadi hampir terjadi di kampung-kampung kecil di daerah, sebut saja sukabumi.
BalasHapussepertinya kalau tidak bisa didiskusikan dengan takmir yang bersangkutan, jalan lain adalah mendo'akan
Mendo'akan itu selemah-lemahnya iman, katanya. Hihihi
BalasHapusAda solusi lain, jadi takmir aja mas wkwk