Langsung ke konten utama

Menemukan Diri

Akhir-akhir ini dibuat kagum oleh postingan teman-teman yang mengunggah foto cantik dengan pose agak miring dilengkapi dengan caption "make up by me", hampir di semua beranda akun sosial media yang saya miliki, mulai dari Facebook, Instagram, dan WhatsApp isinya adalah postingan yang seperti itu. Saya terkadang bertanya-tanya sendiri, kenapa semuanya sekarang jadi pintar make-up ya? Meskipun mereka menyebut dirinya newbie, tapi hasilnya memukau menurut saya.

Bagaimana bisa tangan-tangan lentik mereka menghasilkan gambaran alis yang presisi, balutan bedak yang terlihat natural, lengkap dengan pewarna bibir warna merah muda yang menjadikan perpaduannya kian sempurna.

Sesekali saya bertanya, belajarnya dari mana? Bersama siapa? Kok tiba-tiba mahir mengombinasikan berbagai macam peralatan yang ada sehingga bisa menghasilkan lukisan yang apik di wajah. Sebagian dari mereka menjawab "ya belajar sendiri lah, coba-coba, cari-cari tutorial".

Saya bergumam sendiri, "sekarang mau apa-apa mudah ya, media digital menawarkan semuanya, kamu kebingungan mengoperasikan aplikasi Corel? Buka saja berjebah tutorial di Youtube semua lengkap dari beragam persona yang mencawiskan. Kamu pengen mengupgrade kemahiran make-up? Beauty vlogger dengan ribuan bahkan jutaan subscriber tinggal klik tuh! Nikmati kemudian praktekkan apa yang sudah disajikan, sambil santai-santai rebahan.

Kamu pengen jago nulis tapi bingung siapa tutornya? Belajarnya dimana? Dari mana memulainya? Buka saja Instagram dengan tampilan feed yang menarik dari banyaknya akun-akun literasi digital, penawaran lengkap spesial pake telur! Semuanya tidak dipungut biaya, kamu hanya perlu memulai, memulai, dan memulai.

Dari uraian itu, saya menarik kesimpulan, bahwa semuanya mampu melakukan apapun dan berkesempatan belajar apapun, fasilitas dan ruang bertumbuh sudah ada, tinggal eksekusi saja! Case kalimat terakhirlah yang menjadi perhatian lebih bagi saya, yaitu tentang kepenulisan.

Akhir-akhir ini karena saya dirundung ke-gabutan yang berkelanjutan, saya menjadi aktif scroll-scroll akun sosial media saya, terutama Instagram.

Saya mulai aktif menelusuri tagar-tagar yang berhubungan dengan dunia kepenulisan hingga akun yang saya ikuti mendadak bertambah banyak sekali, isinya penuh dengan komunitas literasi yang menawarkan pelatihan gratis, challenge rutin setiap pekan, dan tak lupa give away yang memakmurkan.

Saya mulai mengisi waktu saya dengan menggeluti hal yang demikian, dan ternyata mengasyikkan hehe. Saya merasa menemukan diri saya dengan kebebasan berekspresi dan bereksplorasi. Belajar melalui banyak orang dan banyak hal ternyata cukup membuat candu, sayang jika tidak memanfaatkan kesempatan dan penawaran yang luar biasa membahagiakan itu.

Jika diingat, dulu saya hanya mampu menuliskan apapun yang terlintas di pikiran melalui buku harian, lambat laun melalui fasilitas-fasilitas Instastory atau WhatsAppstory, dan baru-baru ini saya baru gencar memulai untuk menantang diri sendiri agar karya saya dapat dibaca khalayak, tidak mudah untuk mencapai titik itu, semua tentu punya cerita tentang dia dan prosesnya juga kenangannya dalam menulis, sehingga untuk sampai pada satu karya yang bisa menetas butuh usaha dan juga perlawanan-perlawanan, melawan takut, malu, bahkan kadang melawan hal sepele; miskin apresiasi.

Saya selalu ingat ungkapan Ahmad Rifa'i Rif'an penulis  yang sudah menghasilkan banyak buku best seller dalam prosesnya terjun ke dunia kepenulisan, ia mulai saat duduk di bangku kuliah yang kebetulan tidak linier sama sekali dengan dunia sastra dan aksara, namun tidak ada yang tidak bisa dan tidak mungkin, pun tidak ada yang terlambat! Semua hanya perlu untuk segera dimulai.

Begitupun ungkapan epic dari Puthut Ea dalam Buku Catatan untuk Calon Penulis, "yang kita perlukan untuk menghasilkan sebuah karya hanyalah duduk, diam, lalu mulailah menulis, menulis, dan menulis. Semua orang bisa menulis, mereka hanya butuh ketekunan dan segera untuk memulai" bagaimana? Sudah tertampar? Mari memulai dari diri sendiri, ciptakan sudut-sudut memuaskan dan menggembirakan bersama kepenulisan~

Komentar

  1. Masyaa Allah, semangaat Mbaaa semoga jadi Ahmad Rifa'i Rif'an versi perempuan! hehehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak Broken Home Berbagi Cerita Tentang Pernikahan

"Pernikahan adalah hadiah terbaik dari Allah SWT untuk kita, dan kualitas dari pernikahan itu adalah persembahan kita untuk Allah SWT." Sepotong kalimat itu ku dapatkan setelah babat habis baca instagram story Febrianti Almeera, atau akrab dipanggil Teh Pepew. Entah kapan mulanya, akun Teh Pepew seringkali jadi media kontemplasi paling mendalam. Kata-katanya lugas dan jelas, lembut tapi menampar halus. Beliau ditakdirkan sepasang dengan Ulum A. Saif, kerap dipanggil Kang Ulum. Jika dilihat sekilas, cocok sekali beliau berdua. Saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar. Definisi jodoh. Pembahasan instagram story Teh Pepew kali ini adalah tentang sahabat dekatnya yang baru saja melepas masa lajang di usia kepala 4. Apakah terlambat? Tentu tidak. Dipertemukan dalam kondisi terbaik yang dimiliki, dan di waktu yang terbaik menurutNya. Pembahasan menikah akhir-akhir ini akrab sekali di telinga. Ini bukan lagi tentang terburu-buru, bukan juga sesuatu yang tabu. Perjalanan mas

2023

Setiap tahunnya, selalu ada yang meleset dari resolusi. Tapi ada juga yang melesat di luar ekspektasi. Bagiku, mempertahankan kewarasan diri di antara lonjakan resolusi dan ekspektasi itulah, yang utama. Karena hubungannya dengan emosi: mengelola, memperlajari, dan akhirnya memperbaiki. 2022 terlewati dengan indah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena sejatinya, duka dan bahagia yang menemani di sepanjang tahun tertentu itu tidak ada yang tak mengisyaratkan pelajaran. 2022 membawaku ke banyak sekali tempat baru: bertemu, berkenalan, dan mengelola rindu atas pertemuan.  2022 mengajarkanku untuk tidak jumawa mengasumsikan skenarioNya, merencanakan bak sutradara, tapi lupa siapa yang memiliki kita dan mengatur perjalanan hidup kita. 2022 adalah kebahagiaan yang tak terkira, tak terukur, dan kesyukuran yang paling jujur.

2012

"nanti jangan jadi guru yaaa, jangan. Kamu ngga layak ditiru" Monolog beberapa tahun silam, saat akumulasi sesal dan kecewa bertumpuk. Tepat, yang berputar-putar di pikiran adalah sosok yang mulia itu. Persis dihubungkan dengan perlakuan diri sendiri, karena pada saat itu, status masih seorang pelajar, tapi agaknya jauh dari kata terpelajar. Maha Baik Allah, menjadikan rasa takut, khawatir, dan kerdil akan sebutan yang mulia 'guru' itu sebagai media untuk tumbuh dan berkaca. Rasa-rasanya, jadi guru itu tiada hari tanpa belajar dan mawas diri, merasa ngga mampu, merasa ngga becus, merasa ngga mumpuni, tapi dari semua perasaan itu tumbuh kesadaran untuk belajar. Ya mau ngga mau. Titik. Kalau kamu ngga penuhi hak diri kamu dengan belajar, gimana mau membersamai dan menunaikan hak pelajar-pelajar itu? Tepat hari ini, 25 November selalu sukses membuat diri linglung, haru, dan gemetar. Berjalan dengan sebutan guru itu ya berkelok-kelok. Kadang tersandung kerikil di jalan, k