Langsung ke konten utama

Nyengirin Saja, Jangan Dibuat Baper

“semoga cepat nyusul ya”, “eh besok kita wisuda bareng ya” adalah beberapa contoh ungkapan dari sekian banyak ungkapan yang membuat sekumpulan orang (Mahasiswa tingkat akhir) merenung, meratap, dan akhirnya termangu. Dalam pikiran sedang berputar-putar “eh aku kapan ya”, “kok mereka lancar-lancar saja sedangkan aku stagnan” dan masih banyak lagi. Yeaah selamat datang di masa menyesakkan ini~
Ini adalah sedikit curahan hati mahasiswa semester akhir yang telah berhasil menaklukkan hari-hari pening berisi bimbingan, menunggu, revisi dan sejenisnya. Dalam proses panjang itu ternyata yang benar-benar dibutuhkan bukan suntikan semangat dari si doi, bukan juga refreshing kesana-kemari dengan dalih mendinginkan otak kembali. Tapi yang lebih sukses membuatmu bangkit dan semangat adalah hal yang tidak mereka sadari –melihat teman-temanmu yang sudah berselfie ria memegang bunga dengan caption semangat revisi, atau hanya sekadar menjumpai status WhatsApp berisikan alhamdulillah Acc sidang skripsi- inilah penyemangat yang sesungguhnya.
            Bagi mahasiswa yang sedang dalam masa tenggang di ambang semester delapan, tentu kekhawatiran dan kecemasan itu acap kali menghampiri. Mulai resah memikirkan ibu kost yang berulang kali menanyakan bagaimana kuliahnya, padahal maksud sebenarnya adalah tahun ini lulus kan? kalau mau tetap disini silakan DP, kalau mau keluar ya segera dipersiapkan. Belum lagi bayangan-bayangan UKT dengan nominal sekian yang membuat tidur tak nyaman, heeii kalau nambah semester uang dari mana?
            Yang ada dalam pikiran mahasiswa semester akhir itu bukan neko-neko (aneh-aneh) lagi, cukup dengan berhasil pulang liburan semester delapan dengan label “sudah rampung skripsi”. Bukan niat hati untuk pamer dan menciutkan hati sahabat sekalian yang belum kelar skripsi, tapi setidaknya dengan label itu melegakan diri sendiri dan orang-orang terkasih. Di rumah, ada kekhawatiran ibu terkait jalan perjuangan anaknya untuk menyelesaikan tugas yang terakhir ini, dan tak lupa do’a orang tua yang membutuhkan jawaban dengan pembuktian pencapaian kita.
            Tapi ternyata.. pulang dengan label “sudah rampung skripsi” tidak melulu tentang kebahagiaan dan ucapan selamat dari orang sekitar. Meskipun jika dibandingkan ucapan selamat dan hadiah-hadiah indah itu akan banyak didapatkan di lingkungan kampus, mulai dari pemberian sahabat, teman SD, SMP, SMA, teman seperbimbingan, teman se-dosen penguji dan masih banyak lagi.
            Ketika di rumah, ucapan selamat dan hadiah-hadiah kecil mungkin masih bisa didapatkan, dari keluarga dan orang dekat lainnya. Tapi di balik ucapan selamat karena sudah menyelesaikan studi itu, ternyata ada begitu banyak rentetan kalimat yang mengikutinya. Penulis mencoba menceritakan sependek ingatannya saja, karena hal semacam itu kadang hanya perlu dinyengirin tanpa harus dibaperin.
            “walaah, alhamdulillah sudah lulus. Cepat ya pasti karena dapat dosen yang baik hati”, “yaa kalau kuliah di kampus A memang agak mudah lulusnya, coba saja kuliahnya di kampus B, mungkin agak terasa perjuangannya”, “jurusannya C sih, pantesan lulusnya bisa agak cepat, kalau jurusan D itu biasanya sedikit lama karena kuliahnya full, praktikummya banyak, tugasnya gak nanggung-nanggung, dan dosennya killer-killer lagi”. Mungkin sahabat sekalian pernah mendengar ungkapan yang demikian? Entah dari ibu-ibu komplek sebelah, atau bahkan dari teman sebaya  yang merasa bahwa grade kampusnya lebih tinggi, jurusannya lebih beken dan yaa begitulah, masih banyak lagi.
            Manusia memang begitu ya, sering menganggap bahwa dirinyalah yang mempunyai beban paling berat, mempunyai tantangan yang lebih menantang, dan mempunyai banyak hal yang jika dibandingkan dengan orang lain, ahh kamu itu tidak ada apa-apanya dibandingkan saya. Padahal nih ya, sudah jelas Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha Allah itu tidak membebani seorang hamba melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
            Jadi, kalau dikisahkan secara nyata. Kadang banyak banget nih orang-orang di sekeliling kita yang menganggap proses studinya lah yang sangat berat, oleh karenanya jika menemui seseorang yang bisa menyelesaikan terlebih dahulu dianggap sesuatu yang sangat biasa dan remeh-temeh. Padahal kita kan tidak pernah tahu, bagaimana usahanya mengejar-ngejar dosen pembimbingnya, bagaimana usaha kerasnya begadang mengerjakan revisi setiap malam, bahkan ada yang berusaha keluar dari penjara “salah jurusan” yang berasal dari anggapan mereka sendiri. Mereka semua itu berjuang! Sesuai dengan kadar kesanggupannya dan tentunya diperkuat dengan banyaknya usaha dan kuatnya do’a. Jadi jangan asal memicingkan mata melihat sesuatu dari sudut pandangmu saja, sesuatu yang kamu anggap sulit kadang mudah bagi orang lain, dan sesuatu yang kamu anggap mudah tidak menutup kemungkinan itu sulit bagi yang lain. Pesannya, coba telisik lebih jauh usahanya agar semangatmu ikut terbakar bersamanya, bukan asal nyinyir padahal mereka loh nyengir.
            Kisah lain juga ditemukan yang sumbernya dari sekumpulan ibu-ibu yang mempunyai nasib beruntung bisa menyekolahkan anaknya sampai jenjang perguruan tinggi. Ketika teman dari anaknya sudah selesai, sedangkan anaknya masih terjebak dalam lingkaran menunggu balasan dosen, ganti judul, izin telat pulang karena harus revisian dll. Langsung tanpa ba bi bu menganggap bahwa anaknya berada dalam lingkup dosen killer, jurusan yang susah dan secara otomatis melontarkan kata “ya alhamdulillah kamu sudah lulus nduk, anak saya wajar lama karena jurusannya itu loh susah, dosennya juga kelas atas”
Laaah memang yang lain juga tidak merasakan hal itu? Banyak loh teman-teman saya yang nyasar jurusan, benar-benar mulai dari nol tapi ternyata semangat belajarnya itu patut diacungi jempol. Setelah menginjak semester akhir ternyata teman saya ini dapat dosen killer yang susah ditemui, jarang memberikan masukan dan cenderung perfeksionis. Tapi buktinya? Dia bisa menyelesaikan skripsinya lebih cepat daripada teman-temannya, bahkan dia hebat bisa menaklukkan dosen killer itu. Karena apa? Yaa karena ikhtiar dan do’anya itu, bahwa apapun itu bisa diselesaikan kalau kita mengusahakan.
            Saya jadi teringat do’a dari teman saya yang biasa dilantunkan usai kami melaksanakan suatu kegiatan, begini penggalan isinya “...Ya Allah, Orang tua kami mungkin pernah melanggar laras perintahmu dengan berbohong, demi membahagiakan kami”. Dan penggalan do’a itu terkadang benar adanya, orang tua kita selalu menutup aib-aib kita, selalu menunjukkan pada dunia bahwa kita bisa dan baik-baik saja. Maka penulis sedikit pesan bagi semuanya, untuk masalah skripsi dan tetek bengeknya cobalah berkata jujur pada orang tua, jika kendala dan masalah itu ternyata diri kita sendiri yang menciptakan, jangan sekali-kali menggeret orang lain sebagai tumbal agar diri merasa aman, sungguh bukan seperti itu sebaik-baik penyelesaian.
            Semangat menuntaskan apa yang sudah dimulai, semoga berakhir memuaskan, dan setiap proses serta langkahnya, semoga senantiasa Allah mudahkan dan tunjukkan jalan~


Tulisan ini sudah dimuat oleh Terminal Mojok pada tanggal 29 Mei 2019.

Komentar

  1. huhuhu, berasa senasib seperjuangan ini mah.. wkwk
    semanagat lur!, dan sempetin juga maen-maen ke blog saya,
    arsilogi.id ^^

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah bapak ibu selalu mengajarkan "hidup enak" itu didapat dari perjuangan yang nggak selalu enak. Jadi Saya termasuk suka jika dapat tantangan .. hehe.

    Btw, pic headernya nggak kegedean ya mbak?

    BalasHapus
  3. alhamdulillah, semangat terus mbak..

    hehe iya ni masih belajaran

    BalasHapus
  4. santuy..semua akan indah pada waktunya

    BalasHapus
  5. kesulitan menemukan tombol follow nih, dimana ya . hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak Broken Home Berbagi Cerita Tentang Pernikahan

"Pernikahan adalah hadiah terbaik dari Allah SWT untuk kita, dan kualitas dari pernikahan itu adalah persembahan kita untuk Allah SWT." Sepotong kalimat itu ku dapatkan setelah babat habis baca instagram story Febrianti Almeera, atau akrab dipanggil Teh Pepew. Entah kapan mulanya, akun Teh Pepew seringkali jadi media kontemplasi paling mendalam. Kata-katanya lugas dan jelas, lembut tapi menampar halus. Beliau ditakdirkan sepasang dengan Ulum A. Saif, kerap dipanggil Kang Ulum. Jika dilihat sekilas, cocok sekali beliau berdua. Saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar. Definisi jodoh. Pembahasan instagram story Teh Pepew kali ini adalah tentang sahabat dekatnya yang baru saja melepas masa lajang di usia kepala 4. Apakah terlambat? Tentu tidak. Dipertemukan dalam kondisi terbaik yang dimiliki, dan di waktu yang terbaik menurutNya. Pembahasan menikah akhir-akhir ini akrab sekali di telinga. Ini bukan lagi tentang terburu-buru, bukan juga sesuatu yang tabu. Perjalanan mas

2023

Setiap tahunnya, selalu ada yang meleset dari resolusi. Tapi ada juga yang melesat di luar ekspektasi. Bagiku, mempertahankan kewarasan diri di antara lonjakan resolusi dan ekspektasi itulah, yang utama. Karena hubungannya dengan emosi: mengelola, memperlajari, dan akhirnya memperbaiki. 2022 terlewati dengan indah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena sejatinya, duka dan bahagia yang menemani di sepanjang tahun tertentu itu tidak ada yang tak mengisyaratkan pelajaran. 2022 membawaku ke banyak sekali tempat baru: bertemu, berkenalan, dan mengelola rindu atas pertemuan.  2022 mengajarkanku untuk tidak jumawa mengasumsikan skenarioNya, merencanakan bak sutradara, tapi lupa siapa yang memiliki kita dan mengatur perjalanan hidup kita. 2022 adalah kebahagiaan yang tak terkira, tak terukur, dan kesyukuran yang paling jujur.

2012

"nanti jangan jadi guru yaaa, jangan. Kamu ngga layak ditiru" Monolog beberapa tahun silam, saat akumulasi sesal dan kecewa bertumpuk. Tepat, yang berputar-putar di pikiran adalah sosok yang mulia itu. Persis dihubungkan dengan perlakuan diri sendiri, karena pada saat itu, status masih seorang pelajar, tapi agaknya jauh dari kata terpelajar. Maha Baik Allah, menjadikan rasa takut, khawatir, dan kerdil akan sebutan yang mulia 'guru' itu sebagai media untuk tumbuh dan berkaca. Rasa-rasanya, jadi guru itu tiada hari tanpa belajar dan mawas diri, merasa ngga mampu, merasa ngga becus, merasa ngga mumpuni, tapi dari semua perasaan itu tumbuh kesadaran untuk belajar. Ya mau ngga mau. Titik. Kalau kamu ngga penuhi hak diri kamu dengan belajar, gimana mau membersamai dan menunaikan hak pelajar-pelajar itu? Tepat hari ini, 25 November selalu sukses membuat diri linglung, haru, dan gemetar. Berjalan dengan sebutan guru itu ya berkelok-kelok. Kadang tersandung kerikil di jalan, k