Langsung ke konten utama

Sang Wakil

Malam ini akan menjadi malam paling mendebarkan bagi Intanpurwanti. Perempuan berdarah Jawa yang mempunyai paras menawan dambaan setiap pria. Namun ternyata sirna, rasa akan kalah jika tak dikata. Sebentar lagi ia resmi menjadi milik orang. Seseorang yang sudah berani menemui orang tuanya untuk meminta ia menjadi pendamping hidup sesurganya.

"Kreekk" Intan menyobek selembar kertas yang mulai basah karena air mata.

Malam ini, seperti biasa Intan menuliskan kisahnya di buku-buku pribadinya. Entah sudah berapa buku ia habiskan. Ia memang seorang yang sangat introvert, bagi Intan menulis adalah caranya bercerita, caranya berbagai, caranya menyelesaikan masalah. Baginya interaksi tak harus dengan sosok yang nyata, dengan benda yang hanya diam membisu pun ia sudah merasa lega.

"Nduk, mbok ya tidur. Calon pengantin gak boleh begadang" Tutur ibu dari balik pintu.
"Iya Bu" Intan menjawab singkat.

Sebentar lagi, ia akan serumah dengan seseorang yang beberapa waktu lalu mempersuntingnya, ia akan menjadi istrinya, menjadi ibu dari anak-anaknya. Perasaan haru dan takut menjadi satu. Intan cukup takut untuk memulai hidup baru dengan orang yang belum cukup ia kenal. Ya, Intan memang dijodohkan oleh seseorang, Hakim namanya.

Setelah melewati proses panjang yang melelahkan, akhirnya Intan memutuskan. Memilih Hakim sebagai calon suaminya, dari sekian banyak perasaan yang terungkap untuknya.

Dinding kamarnya penuh dengan tempelan post it berisi angka-angka, setiap pagi menjelang ia akan ambil satu persatu post it yang bertuliskan tanggal menuju hari pernikahannya. Tak terasa, hanya tersisa 5 kotak saja. Perihal hari sakral itu agaknya semakin mendekati dan mendebarkan.

Bersambung..

Tantangan ODOP pekan 8 episode 1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak Broken Home Berbagi Cerita Tentang Pernikahan

"Pernikahan adalah hadiah terbaik dari Allah SWT untuk kita, dan kualitas dari pernikahan itu adalah persembahan kita untuk Allah SWT." Sepotong kalimat itu ku dapatkan setelah babat habis baca instagram story Febrianti Almeera, atau akrab dipanggil Teh Pepew. Entah kapan mulanya, akun Teh Pepew seringkali jadi media kontemplasi paling mendalam. Kata-katanya lugas dan jelas, lembut tapi menampar halus. Beliau ditakdirkan sepasang dengan Ulum A. Saif, kerap dipanggil Kang Ulum. Jika dilihat sekilas, cocok sekali beliau berdua. Saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar. Definisi jodoh. Pembahasan instagram story Teh Pepew kali ini adalah tentang sahabat dekatnya yang baru saja melepas masa lajang di usia kepala 4. Apakah terlambat? Tentu tidak. Dipertemukan dalam kondisi terbaik yang dimiliki, dan di waktu yang terbaik menurutNya. Pembahasan menikah akhir-akhir ini akrab sekali di telinga. Ini bukan lagi tentang terburu-buru, bukan juga sesuatu yang tabu. Perjalanan mas

2023

Setiap tahunnya, selalu ada yang meleset dari resolusi. Tapi ada juga yang melesat di luar ekspektasi. Bagiku, mempertahankan kewarasan diri di antara lonjakan resolusi dan ekspektasi itulah, yang utama. Karena hubungannya dengan emosi: mengelola, memperlajari, dan akhirnya memperbaiki. 2022 terlewati dengan indah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena sejatinya, duka dan bahagia yang menemani di sepanjang tahun tertentu itu tidak ada yang tak mengisyaratkan pelajaran. 2022 membawaku ke banyak sekali tempat baru: bertemu, berkenalan, dan mengelola rindu atas pertemuan.  2022 mengajarkanku untuk tidak jumawa mengasumsikan skenarioNya, merencanakan bak sutradara, tapi lupa siapa yang memiliki kita dan mengatur perjalanan hidup kita. 2022 adalah kebahagiaan yang tak terkira, tak terukur, dan kesyukuran yang paling jujur.

2012

"nanti jangan jadi guru yaaa, jangan. Kamu ngga layak ditiru" Monolog beberapa tahun silam, saat akumulasi sesal dan kecewa bertumpuk. Tepat, yang berputar-putar di pikiran adalah sosok yang mulia itu. Persis dihubungkan dengan perlakuan diri sendiri, karena pada saat itu, status masih seorang pelajar, tapi agaknya jauh dari kata terpelajar. Maha Baik Allah, menjadikan rasa takut, khawatir, dan kerdil akan sebutan yang mulia 'guru' itu sebagai media untuk tumbuh dan berkaca. Rasa-rasanya, jadi guru itu tiada hari tanpa belajar dan mawas diri, merasa ngga mampu, merasa ngga becus, merasa ngga mumpuni, tapi dari semua perasaan itu tumbuh kesadaran untuk belajar. Ya mau ngga mau. Titik. Kalau kamu ngga penuhi hak diri kamu dengan belajar, gimana mau membersamai dan menunaikan hak pelajar-pelajar itu? Tepat hari ini, 25 November selalu sukses membuat diri linglung, haru, dan gemetar. Berjalan dengan sebutan guru itu ya berkelok-kelok. Kadang tersandung kerikil di jalan, k