Langsung ke konten utama

Lingkungan yang Berperan

Terlahir sebagai seorang perempuan merupakan anugerah yang patut untuk disyukuri. Betapa banyak janji-janji Allah yang dikhususkan untuk perempuan, mulai dari hadirnya sebagai penolong ayahnya kelak di surga ketika ia berhasil menjaga dan menutup auratnya, dan jaminan surga untuknya ketika mampu membaktikan diri kepada suaminya.
Saya bersyukur, diberikan kesempatan untuk lahir dan dibesarkan di keluarga yang sudah mengerti tentang batasan-batasan dan kewajiban perempuan terutama dalam hal menutup aurat. Banyak sekali potret kejadian dari lingkaran kehidupan kita yang masih sangat asing dengan kewajiban seorang perempuan yakni menutup aurat.
Saya mulai bercerita masa taman kanak-kanak dan sekolah dasar saya lewati dengan mulus tanpa ada rintangan perihal jilbab. Bagi saya yang masih kecil pada saat itu, pergi ke sekolah setiap pagi dengan seragam rapi lengkap dengan penutup rambutnya merupakan kebahagiaan tersendiri. Kemudian sore dilanjutkan mengaji bersama di surau dengan seragam merah menjadi kebanggaan tersendiri.
Ternyata rasa syukur itu telat saya sadari, saya tak bisa membayangkan jika saya kurang beruntung dilahirkan di lingkungan yang sama sekali tidak mendukung saya untuk menjadi sebenar-benarnya muslimah pada saat itu, bisa jadi kebiasaan tersebut akan saya bawa sampai remaja, dewasa, bahkan sampai tua.
Meskipun tidak semua orang baik dilahirkan dari keluarga baik, tapi bagi saya lingkungan sangat berperan untuk menjadikan seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Lingkungan yang pertama kali membentuk adalah lingkungan keluarga. Penanaman awal yang orang tua berikan terkait banyak hal tidak boleh disepelekan, justru petuah-petuah dan pesannya yang tak bosan diungkapkan kepada kita akan selalu tersimpan rapi dalam memori otak dimanapun kita berada, dan sejauh apapun kita melangkah pergi darinya.
Jika sebelumnya saya bisa menceritakan pengalaman taman kanak-kanak hingga sekolah dasar yang berjalan mulus, pada jenjang SMP lah saya mulai kehilangan kendali dan merasakan gejolaknya iman. Berada pada lingkar sekolahan negeri yang lebih bebas terkait banyak hal membuat saya larut, dan rasanya ingin mengubur dalam-dalam pengalaman kelam saat itu. Jika bukan karena pertolongan Allah Yang Maha Baik sepertinya saya sudah banyak tercebur pada lubang kemaksiatan yang penuh dengan penyesalan.
Namun semua orang berhak berubah, dan semua orang berhak memperbaiki dirinya. Seringkali benar, pengalaman merupakan guru terbaik dalam kehidupan. Kita harus selalu mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpa. Sesegera mungkin dijadikan pelajaran, dan dijadikan peta untuk menyusuri langkah kebaikan selanjutnya.
Pengalaman orang-orang melewati masa hijrahnya memang beda-beda. Ada yang terlahir dari keluarga islami namun perlakuan tak menunjukkan kepribadian islami. Ada yang hidup di keluarga carut-marut dengan berbagai macam problematika yang menimpa, namun anaknya lahir sebagai pribadi yang kuat dan berpegang teguh pada nilai-nilai islam. Mengapa demikian? Karena proses bertumbuh seseorang itu berbeda, tak bisa dipaksakan satu dengan yang lain dengan hanya satu cara saja, tidak.
Saya melanjutkan perjalanan sebagai perempuan pembelajar di salah satu pesantren di Lamongan. Sebenarnya saya menginginkan atmosfer ini sejak SMP, namun orang tua memberikan izin ketika saya memasuki jenjang SMA. Berada di lingkungan yang menjamin nilai-nilai islamnya membuat orang tua saya tenang mengirimkan saya disini. Setidaknya, jika di rumah saya masih harus dibangunkan subuh maka disini orang tua bebas tanggung jawab akan itu, jika di rumah kemungkinan besar saya akan hilang kendali terkait kewajiban menutup aurat, maka di pesantren saya lebih terjaga.
Bagi saya, hidup harusnya selalu haus akan aturan dan peraturan. Saya tipe orang yang suka diatur, berangkat dari banyaknya aturan yang mungkin awalnya saya menjalankannya dengan rasa terpaksa, namun dari jalan itu saya memetik banyak pelajaran. Tidak ada aturan yag tidak berniat baik untuk kita. Semua pasti punya maksud agar kita bisa menjadi pribadi yang taat. Selama aturan itu tidak melanggar norma agama, maka lakukan saja. Perempuan akan selalu dinilai dari tingkat ketaatannya.
Memasuki dunia perkuliahan, bertambahlah gejolak iman itu. Semakin jauh dari orang tua, tanpa aturan yang mengikat dan semuanya adalah terserah kita, kita harus pandai-pandai menjaga dan membentengi diri, jika tidak mau terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan. Katanya, ini adalah dunia yang sesungguhnya, maka kuatlah bersaing dengan ego masing-masing!
Awal kuliah saya hanya memakai jilbab seadanya, pendek pikir saya bahwa yang penting menutupi dada maka aman-aman saja. Lambat laun semakin tergiur dengan banyaknya model jibab yang semakin tak menanamkan nilai syariat. Bagaimanapun, saya juga perempuan biasa yang masih sering naik turun imannya.
Setiap ada model jilbab, saya tertarik untuk membelinya. Muncul model lagi saya bergegas untuk mengoleksinya. Selalu merasa kurang dan tak ingin ketinggalan dengan yang lainnya. Hingga saya berada pada titik jilbab tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya berkutat mengikuti model dan trend, lupa esensi berjilbab yang sesungguhnya kemudian hilanglah kepribadian sederhana dari jiwa seorang muslimah.
Begitulah saya, tanpa aturan dan tanpa dukungan lingkungan saya hanya akan menjadi saya yang tidak sesuai dengan harapan. Peran orang-orang terdekat memang selalu saya butuhkan. Jika pernah mendengar suatu ungkapan “nilailah saya berdasarkan orang-orang yang berada di dekat saya”, maka itulah potret saya yang sesungguhnya. Karena saya adalah tipe orang yang tidak sanggup melakukan kebaikan sendirian. Saya merasa nyaman jika banyak orang dekat di sekitar saya yang terlibat aktif dalam proses pertumbuhan saya. Mengingatkan ketika goyah, menegur ketika semakin tak terarah, dan sesekali marah ketika saya tak bisa lagi diarahkan.
Tiga bulan ini, saya memasuki babak baru dalam hidup saya. Menjadi seorang pendidik di salah satu lembaga berjenis pesantren. Sepertinya ini adalah salah satu jawaban dari doa-doa saya. Barangkali melalui tempat ini, saya bisa terus-menerus memperbaiki diri saya dan belajar memaknai sebenar-benarnya jilbab dalam hidup saya.
Menjadi seorang muslimah yang selalu belajar menempa diri dengan bantuan lingkungan yang memadai, semoga saya bisa meniru mereka yang lebih dulu mengenali penciptanya dengan menjaga auratnya, agar bisa menjadi sebaik-baik perempuan yang dirindukan surga.
Diri sendiri memang bisa merubah keadaan, namun jangan lupakan lingkungan yang selalu berperan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak Broken Home Berbagi Cerita Tentang Pernikahan

"Pernikahan adalah hadiah terbaik dari Allah SWT untuk kita, dan kualitas dari pernikahan itu adalah persembahan kita untuk Allah SWT." Sepotong kalimat itu ku dapatkan setelah babat habis baca instagram story Febrianti Almeera, atau akrab dipanggil Teh Pepew. Entah kapan mulanya, akun Teh Pepew seringkali jadi media kontemplasi paling mendalam. Kata-katanya lugas dan jelas, lembut tapi menampar halus. Beliau ditakdirkan sepasang dengan Ulum A. Saif, kerap dipanggil Kang Ulum. Jika dilihat sekilas, cocok sekali beliau berdua. Saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar. Definisi jodoh. Pembahasan instagram story Teh Pepew kali ini adalah tentang sahabat dekatnya yang baru saja melepas masa lajang di usia kepala 4. Apakah terlambat? Tentu tidak. Dipertemukan dalam kondisi terbaik yang dimiliki, dan di waktu yang terbaik menurutNya. Pembahasan menikah akhir-akhir ini akrab sekali di telinga. Ini bukan lagi tentang terburu-buru, bukan juga sesuatu yang tabu. Perjalanan mas

2023

Setiap tahunnya, selalu ada yang meleset dari resolusi. Tapi ada juga yang melesat di luar ekspektasi. Bagiku, mempertahankan kewarasan diri di antara lonjakan resolusi dan ekspektasi itulah, yang utama. Karena hubungannya dengan emosi: mengelola, memperlajari, dan akhirnya memperbaiki. 2022 terlewati dengan indah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena sejatinya, duka dan bahagia yang menemani di sepanjang tahun tertentu itu tidak ada yang tak mengisyaratkan pelajaran. 2022 membawaku ke banyak sekali tempat baru: bertemu, berkenalan, dan mengelola rindu atas pertemuan.  2022 mengajarkanku untuk tidak jumawa mengasumsikan skenarioNya, merencanakan bak sutradara, tapi lupa siapa yang memiliki kita dan mengatur perjalanan hidup kita. 2022 adalah kebahagiaan yang tak terkira, tak terukur, dan kesyukuran yang paling jujur.

2012

"nanti jangan jadi guru yaaa, jangan. Kamu ngga layak ditiru" Monolog beberapa tahun silam, saat akumulasi sesal dan kecewa bertumpuk. Tepat, yang berputar-putar di pikiran adalah sosok yang mulia itu. Persis dihubungkan dengan perlakuan diri sendiri, karena pada saat itu, status masih seorang pelajar, tapi agaknya jauh dari kata terpelajar. Maha Baik Allah, menjadikan rasa takut, khawatir, dan kerdil akan sebutan yang mulia 'guru' itu sebagai media untuk tumbuh dan berkaca. Rasa-rasanya, jadi guru itu tiada hari tanpa belajar dan mawas diri, merasa ngga mampu, merasa ngga becus, merasa ngga mumpuni, tapi dari semua perasaan itu tumbuh kesadaran untuk belajar. Ya mau ngga mau. Titik. Kalau kamu ngga penuhi hak diri kamu dengan belajar, gimana mau membersamai dan menunaikan hak pelajar-pelajar itu? Tepat hari ini, 25 November selalu sukses membuat diri linglung, haru, dan gemetar. Berjalan dengan sebutan guru itu ya berkelok-kelok. Kadang tersandung kerikil di jalan, k