Langsung ke konten utama

Seni Menunggu

Terdapat samudra kesabaran yang teramat luas, yang menanti untuk kita singgahi, juga lautan kebahagiaan yang membentang lapang, yang menuntut kita untuk sedikit lebih sabar. Setidaknya dalam hidup, kita akan dihadapkan dengan berbagai macam ujian kesabaran, maka nikmatilah, tunggulah, hingga akhirnya kita bisa merasakan manisnya buah dari perjuangan yang sempat dikeluh-keluhkan itu.
Saya terlambat menyadari bahwa penggalian potensi sebenarnya bisa ditemukan melalui orang lain, komunitas, atau bahkan orang lain yang menemukan. Jika kita sudah biasa mencoba dan melakukan banyak hal, tentu saja orang lain akan menilai, dari situlah kemudian orang lain berkomentar “ternyata kamu jago di bidang ini loh”, “lah ini potensi kamu disini sebenarnya” dll.
Cerita bermula dari masuknya saya di dunia perkuliahan. Disambut dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi, sepeda motor berhamburan disetiap sudut parkiran, dan populasi rambut gondrong mulai memenuhi sepanjang jalan fakultas. Apalagi fakultas saya, hidup di lingkungan Fakultas Sastra yang terdiri dari beraneka ragam jurusan yang sangat berbeda dan unik. Dalam fakuktas satra terdiri dari jurusan sastra Indonesia, sastra Jerman, sastra Inggris, sastra Mandarin, sastra Arab, juga Desain Komunikasi Visual, Seni Rupa, dan Seni Tari. Sungguh berbeda-beda namun tetap satu bukan?
Saya menjadi bagian dari salah satu jurusan tersebut, tepatnya sastra Arab. Lulus S(MA), saya dihadapkan dengan pilihan-pilihan pendaftaran seleksi masuk perguruan tinggi. Berbagai macam jalur saya coba, jalur SNMPTN, SBMPTN, sampai PTKIN. Memilih jurusannya banyak yang ­ngasal, apalagi prodinya. Jika diingat, saya dulu pernah memilih salah satu prodi yang saya sendiri tidak memahami apa sebenarnya prodi tersebut.
Tibalah saat pengumuman yang bertubi-tubi, mengawali dengan membuka hasil SNMPTN dan ternyata muncul kata-kata ber-font colour merah menyapa, bertuliskan “Anda dinyatakan tidak lulus seleksi SNMPTN 2015”. Campur aduk perasaan saya saat itu, karena saya terlalu menaruh harapan besar pada jalur ini. Saya memilih prodi Akuntansi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya, karena memang pada saat itu restu orang tua hanya untuk kota yang dekat-dekat saja dari tempat asal saya; Lamongan.
Namun takdir berkata lain, nampaknya ada tempat lain yang lebih layar untuk menjadi ladang saya berproses dan bertumbuh. Akhirnya saya berhasil nyemplung di salah satu kota yang terkenal dengan pendidikannya, kota yang tidak terbesit sedikitpun di benak saya sebelumnya, kota yang bukan menjadi impian saya selama ini, namun ternyata kota ini yang menampung segala mimpi saya dan menjadikannya nyata. Ya, Malang namanya.
Saya memilih salah satu Universitas Negeri di kota Malang, dengan keraguan dan kebimbangan. Saya dinyatakan lulus di dua Universitas pada saat itu, di Surabaya namun bukan di kampus impian saya, dan di Malang yang tentu saja saya memimpikannya saja tidak pernah untuk sebelumnya. Akhirnya, setelah melewati musyawarah bersama saudara dan orang tua, kami memutuskan untuk memilih Malang. Alasannya, banyak saudara yang kuliah disana, bahkan ada yang berumah tangga.
Alasan yang sederhana ya? Jika dipikir, meskipun sendiripun saya mampu sebenarnya, alih-alih mengasah kemandirian dan melatih diri untuk cakap berkenalan. Tapi Allah punya jutaan kejutan di balik semuanya. Allah Maha Baik, Dia sisipkan banyak sekali hadiah-hadiah di sepanjang jalan berproses.
Saya memilih Malang, memilih prodi Pendidikan Bahasa Arab, memilih Universitas Negeri Malang dengan perasaan kalut dan takut. Prodi ini merupakan pilihan kedua saya, tentu saja prioritasnya tergeser, saya pun memilihnya karena saya bingung harus memilih apa. Saya hanya meninginkan pilihan di jurusan pertama pada saat itu, saya merasa mampu di prodi itu, saya menyukainya, namun saya gagal menjadi bagiannya.
Menjalani rutinitas menjadi mahasiswa baru memang menyenangkan. Di semester 1 sampai 3 saya tidak merasakan gelojak yang luar biasa. Saya menikmati prosesnya, sambil melangkah tersengkal-sengkal mencoba sama dengan yang lebih dulu berlari. Terkadang memang kita hanya terkungkung oleh asumsi pribadi tentang istilah salah jurusan, hingga akhirnya tak bisa benar-benar menikmati proses untuk menemukan. Menemukan diri kita yang sebenarnya bukan di tempat ini inginnya, namun mencoba, berusaha, dan berdoa selalu menjadi senjata utama.
Tak terasa karena saya terlalu menikmati fase itu, sembari menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, organisasi intra dan ekstra, saya akhirnya tiba pada suatu masa yang mencengangkan; semester akhir. Hari-hari mulai disibukkan dengan bimbingan, revisi, cari referensi, menghubungi dosen, dll. Jika dihitung saya melewati waktu 6 bulan untuk menyelesaikan rentetan skripsi hingga sidang. Tepat tanggal 23 Mei 2019, saya resmi menjadi sarjana lulusan sastra Arab Universitas Negeri Malang.
Sedikit drama tercipta pada saat itu, hingga akhirnya dengan gegas saya bisa merampungkan semua proses revisi dan melanjutkan perjalanan selanjutnya menuju kelengkapan administrasi. Ternyata saat inilah jiwa kesabaran saya diuji berkali-kali, mulai dari proses percetakan yang mengalami kekecewaan, dilanjutkan dengan proses penjajakan yang memkan banyak waktu, ditambah dengan pikiran yang tak karuan karena mulai dipusingkan oleh amanah pekerjaan.
Saya memang mempunyai keinginan untuk memperoleh pekerjaan ketika saya selesai sidang skripsi, pekerjaan seadanya dulu karena memang belum memegang ijazah. Akhirnya saya menemukan pekerjaan di sebuah pesantren di kota Batu, sembari mengurus proses administrasi di kampus saya biasanya riwa-riwi Malang-Batu untuk mengejar target “Cepat Wisuda”. Bagaimanapun keadaannya, ketika kita sudah dihadapkan dengan amanah mengajar, hal lain memang kadang menjadi pelecut semangat untuk segera memuntaskan.
Hingga tiba akhinya saya menikmati hasil dari proses menunggu, tepat setelah 5 bulan menunggu saya bisa menggandeng kedua orang tua untuk turut menyaksikan upacara kelulusan secara sakral. Dari sini saya percaya, menunggu tak melulu jenuh, ada banyak hal lain yang bisa dikerjakan sambil menunggu, ada mimpi-mimpi lain yang layak untuk disentuh, jika kita benar-benar menyadari, menunggu hakikatnya adalah proses istirahat, peralihan satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan pengambilan hikmah dan pelajaran di setiap detiknya.

Komentar

  1. Wah, semangat mbak! Congrats ya atas kelulusannya (meski agak telat hehe)

    BalasHapus
  2. Semangat terus ya mbak...saya dl jg pgn bgt bljr sastra arab mbak hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anak Broken Home Berbagi Cerita Tentang Pernikahan

"Pernikahan adalah hadiah terbaik dari Allah SWT untuk kita, dan kualitas dari pernikahan itu adalah persembahan kita untuk Allah SWT." Sepotong kalimat itu ku dapatkan setelah babat habis baca instagram story Febrianti Almeera, atau akrab dipanggil Teh Pepew. Entah kapan mulanya, akun Teh Pepew seringkali jadi media kontemplasi paling mendalam. Kata-katanya lugas dan jelas, lembut tapi menampar halus. Beliau ditakdirkan sepasang dengan Ulum A. Saif, kerap dipanggil Kang Ulum. Jika dilihat sekilas, cocok sekali beliau berdua. Saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar. Definisi jodoh. Pembahasan instagram story Teh Pepew kali ini adalah tentang sahabat dekatnya yang baru saja melepas masa lajang di usia kepala 4. Apakah terlambat? Tentu tidak. Dipertemukan dalam kondisi terbaik yang dimiliki, dan di waktu yang terbaik menurutNya. Pembahasan menikah akhir-akhir ini akrab sekali di telinga. Ini bukan lagi tentang terburu-buru, bukan juga sesuatu yang tabu. Perjalanan mas

2023

Setiap tahunnya, selalu ada yang meleset dari resolusi. Tapi ada juga yang melesat di luar ekspektasi. Bagiku, mempertahankan kewarasan diri di antara lonjakan resolusi dan ekspektasi itulah, yang utama. Karena hubungannya dengan emosi: mengelola, memperlajari, dan akhirnya memperbaiki. 2022 terlewati dengan indah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena sejatinya, duka dan bahagia yang menemani di sepanjang tahun tertentu itu tidak ada yang tak mengisyaratkan pelajaran. 2022 membawaku ke banyak sekali tempat baru: bertemu, berkenalan, dan mengelola rindu atas pertemuan.  2022 mengajarkanku untuk tidak jumawa mengasumsikan skenarioNya, merencanakan bak sutradara, tapi lupa siapa yang memiliki kita dan mengatur perjalanan hidup kita. 2022 adalah kebahagiaan yang tak terkira, tak terukur, dan kesyukuran yang paling jujur.

2012

"nanti jangan jadi guru yaaa, jangan. Kamu ngga layak ditiru" Monolog beberapa tahun silam, saat akumulasi sesal dan kecewa bertumpuk. Tepat, yang berputar-putar di pikiran adalah sosok yang mulia itu. Persis dihubungkan dengan perlakuan diri sendiri, karena pada saat itu, status masih seorang pelajar, tapi agaknya jauh dari kata terpelajar. Maha Baik Allah, menjadikan rasa takut, khawatir, dan kerdil akan sebutan yang mulia 'guru' itu sebagai media untuk tumbuh dan berkaca. Rasa-rasanya, jadi guru itu tiada hari tanpa belajar dan mawas diri, merasa ngga mampu, merasa ngga becus, merasa ngga mumpuni, tapi dari semua perasaan itu tumbuh kesadaran untuk belajar. Ya mau ngga mau. Titik. Kalau kamu ngga penuhi hak diri kamu dengan belajar, gimana mau membersamai dan menunaikan hak pelajar-pelajar itu? Tepat hari ini, 25 November selalu sukses membuat diri linglung, haru, dan gemetar. Berjalan dengan sebutan guru itu ya berkelok-kelok. Kadang tersandung kerikil di jalan, k